{Blog} 080707 Ada Dipole Mode lagi tahun ini?

Ada Dipole Mode lagi tahun ini?

July 7, 2008

Tahun 2007 merupakan tahun yang unik bagi pemerhati iklim. Kombinasi fenomena La Niña di Samudera Pasifik dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif di Samudera Hindia telah mempengaruhi kondisi iklim global maupun regional, khususnya di kawasan sekitar Samudera Hindia tak terkecuali Indonesia. Keunikan fenomena ini merupakan pengulangan fenomena serupa yang terjadi lebih kurang empat dasawarsa yang lalu. Tepatnya, IOD positif di tahun 1967 di Samudera Hindia diiringi oleh La Niña di Samudera Pasifik. Kejadian IOD di tahun 2007 juga memiliki keunikan yang lain jika dilihat dari rangkaian kejadian IOD di Samudera Hindia. Dua fenomena IOD positif terjadi secara berurutan di tahun 2006 dan 2007. Sesuatu yang sangat tidak lazim. Berdasarkan data kejadian IOD, fenomena ini juga merupakan fenomena serupa sekitar hampir satu abad yang lalu. Yaitu, IOD positif di tahun 1913 diikuti fenomena serupa di tahun berikutnya 1914. Biasanya, IOD positif akan diikuti oleh IOD negatif, sehingga membenntuk sinyal osilasi dalam periode dua tahunan yang merupakan frekuensi alami di Samudera Hindia.

Sementara itu, tahun ini Samudera Hindia tampaknya akan kembali menjadi panggung pertunjukan bagi anomali iklim. Data-data pengamatan, baik di permukaan maupun di bawah permukaan laut, menunjukkan sinyal akan terjadinya fenomena IOD positif di tahun ini. Akankah tahun 2008 menjadi tahun kejadian yang lebih unik lagi dengan merangkai tiga kejadian IOD positif dari tahun 2006 hingga 2008?

Citra satelit
Keberadaan satelit yang mampu memantau berbagai parameter iklim dan cuaca, terbukti telah memberikan manfaat yang sangat besar. Bukan hanya pada aspek keilmuan, akan tetapi juga berimplikasi pada berbagai aspek kehidupan. Sebagai contoh, citra satelit yang merekam aktivitas badai tropis akan memberikan informasi lebih dini yang bermanfaat untuk program mitigasi bencana.

Lalu, bagaimana dengan citra satelit yang merekam parameter-parameter iklim di Samudera Hindia? Pola distribusi temperatur muka laut di kawasan tropis (Gambar 1) yang terekam oleh satelit AVHRR (Advanced Very High-Resolution Radiometer) telah menunjukkan formasi terbentuknya IOD positif, dimana anomali negatif (~-1°C) terekam di sepanjang pantai Selatan Jawa dan Barat Sumatra, sedangkan kawasan di tengah Samudera Hindia dan pantai Timur Afrika menunjukkan anomali positif (~1.5°C).

Sementara itu, citra satelit QuikSCAT (Quick Scatterometer) untuk kurun waktu yang sama (Gambar 1) menunjukkan adanya kecenderungan penguatan anomali angin selatan di sepanjang pantai Jawa dan Sumatra dan angin timur di sepanjang ekuator. Pola anomali angin seperti ini merupakan ciri khas bagi terjadinya fenomena IOD positif di Samudera Hindia. Penguatan angin ini akan memperkuat fenomena upwelling (pengangkatan massa air di lapisan bawah untuk menutupi ruang kosong di permukaan akibat pergerakan massa air yang menjauhi pantai atau ekuator). Sebagai akibat, suhu permukaan laut akan menurun dan efek timbal-balik ke atsmofer adalah terjadinya penguatan angin Selatan dan angin Timuran yang telah diuraikan sebelumnya. Dari beberapa data pengamatan suhu permukaan laut dan angin yang terekam oleh kedua satelit tersebut dalam beberapa minggu terakhir menunjukkan adanya kecenderungan ke arah IOD positif.


Gambar 1. Citra satelit yang menampakkan anomali suhu permukaan laut (warna) dan arah angin (vector) yang terekam pada tanggal 24 Juni 2008.

Kecenderungan akan terjadinya IOD positif juga dapat dilihat dari indeks IOD. Indeks ini diukur berdasarkan perbedaan suhu permukaan laut di bagian barat (50°BT - 70°BT, 10°LS - 10°LU) dan di bagian timur (90°BT - 110°BT, 10°LS - 0°LU) Samudera Hindia. Nilai indeks positif menunjukkan IOD positif, begitu juga sebaliknya. Semakin besar nilai indeks ini, maka semakin kuat fenomena IOD yang terjadi sekaligus semakin besar efeknya pada iklim.

Dengan memanfaatkan citra satelit AVHRR, kita dapat memantau perkembangan indeks ini seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Seperti yang telah diuraikan di atas, di tahun 2006 dan 2007 terjadi fenomena IOD positif secara berurutan, dan hal ini dapat dilihat dari nilai indeks positif selama periode tersebut. Dari nilai indeks ini dapat kita lihat bahwa IOD positif di tahun 2006 lebih kuat dibandingan dengan IOD positif di tahun 2007. Satu hal menarik yang perlu diperhatikan adalah indeks ini kembali menunjukkan nilai positif lebih besar dari nilai standar deviasi-nya dalam beberapa bulan terakhir, terhitung sejak pertengahan Mei. Hal ini menandakan bahwa ada kencederungan akan terjadinya IOD positif di Samudera Hindia.


Gambar 2. Indeks Indian Ocean Dipole yang merupakan perbedaan suhu permukaan laut di sebelah barat (50°BT - 70°BT, 10°LS - 10°LU) dan di sebelah timur (90°BT - 110°BT, 10°LS - 0°LU) Samudera Hindia. Nilai positif menunjukkan terjadinya fenomena IOD positif, begitu juga sebaliknya.


Sinyal dari bawah permukaan
Pengamatan langsung di laut merupakan motede konvensional yang mampu menghasilkan data observasi dengan tingkat akurasi yang tinggi. Selain itu, dari sisi oseanografi, pengamatan langsung di laut dapat memberikan gambaran tentang dinamika apa yang sedang terjadi di bawah permukaan laut.

Jika dibandingkan dengan Samudera Pasifik dan Samudera Atlantik, kuantitas data pengamatan di Samudera Hindia masih sangat kurang. Namun demikian, dengan melihat kenyataan akan pentingnya pengaruh dinamika laut-atsmofer di Samudera Hindia bagi iklim global, terjadi peningkatan intensitas observasi dengan menempatkan beberapa alat perekam beberapa parameter fisis oseanografi akhir-akhir ini. Negara-negara yang menguasai ilmu kelautan, seperti Amerika, Jepang, China, Asutralia, India dan beberapa Negara Eropa, berperan aktif dalam melakukan penelitian di Samudera Hindia.

Salah satu alat perekam temperatur dan salinitas bawah permukaan laut (TRITON Buoy) yang dimiliki lembaga riset kelautan Jepang (JAMSTEC) ditanam pada posisi 1,5°LS, 90°BT. Posisi buoy ini tepat berada di kutub timur IOD, sehingga data yang dikirim oleh buoy ini akan memberikan informasi terkini tentang evolusi IOD.

Pada saat terjadi IOD positif, temperatur bawah permukaan laut menunjukkan anomaly negatif. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya intrusi massa air dengan temperatur lebih rendah dari kawasan barat Samudera Hindia. Intrusi massa air ini dibawa oleh arus bawah permukaan di sepanjang ekuator (Equatorial Undercurrent) yang dibangkitkan oleh pengaruh angin timur ketika terjadi IOD positif. Dari data temperatur yang direkam oleh buoy ini selama tahun 2006 hingga 2007, nampak bahwa anomali negatif mulai timbul pada bulan Mei/Juni pada kedalaman lebih kurang 100-200 meter di bawah permukaan laut. Evolusi di bawah permukaan ini mendahului evolusi IOD yang terekam di permukaan laut (bandingkan dengan Gambar 2). Seperti halnya indeks IOD, besaran dan durasi anomali ini juga menentukan seberapa besar dan seberapa lama IOD yang terjadi.

Untuk tahun 2008, kembali data buoy ini kembali menunjukkan gejala evolusi IOD positif yang ditandai dengan munculnya anomaly negatif di kedalaman 100-200 meter. Anomali negatif pada kedalaman ini mulai terekam sejak bulan Mei. Namun jika kita bergerak lebih ke bawah lagi akan tampak bahwa anomaly ini sudah terekam di kedalaman lebih kurang 250 meter sejak bulan Maret. Jadi, sinyal bawah permukaan laut yang terekam oleh buoy juga telah menampakkan gejala IOD positif di Samudera Hindia.

Hasil prediksi model iklim
Perkembangan pemodelan iklim yang dibarengi dengan perkembangan dibidang perangkat keras komputer telah memberikan efek yang sangat besar bagi peradaban modern. Kombinasi kedua ilmu tersebut mampu memberikan prediksi tentang kondisi yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, pun juga kondisi yang telah lalu. Prediksi yang dihasilkan juga bukan hanya dalam skala harian, tetapi bahkan ratusan tahun.

Salah satu grup riset yang konsen akan fenomena iklim baik di Samudera Hindia maupun di Samudera Pasifik adalah grup riset variasi iklim di Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC). Grup ini berhasil memprediksi terjadinya IOD positif di tahun 2006 dan 2007. Hasil prediksi ini telah dimanfaatkan secara luas oleh ilmuan dari berbagai Negara, bahkan oleh para petani di Asutralia yang juga merasakan dampak kekeringan akibat IOD positif ini.

Untuk tahun 2008, kembali grup ini yang dimotori oleh Prof. Toshio Yamagata dan ditukangi oleh Dr. Jingjia Luo memprediksi akan terjadinya IOD positif di Samudera Hindia. Hasil prediksi ini dapat dilihat di http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/
Hasil prediksi ini menunjukkan bahwa puncak IOD akan terjadi pada bulan Agustus-September, dimana anomaly suhu permukaan laut di bagian timur mencapai -2,5°C dan di bagian barat mencapai 0.6°C.

Untuk kawasan Indonesia, hasil prediksi ini juga menunjukkan bahwa akan terjadi defisit curah hujan di sebagian besar wilayah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan sebagian kecil wilayah Kalimantan pada bulan Juni – Agustus. Sedangkan pada bulan September – November, hampir suluruh wilayah Sumatra dan sebagian kecil wilayah Jawa bagian barat akan mengalami defisit hujan.

Antisipasi dampak IOD positif
Seperti halnya El Niño, IOD positif akan menyebabkan menurunnya curah hujan di wilayah Indonesia. Kita baru saja merasakan dampak dari IOD positif ini selama dua tahun berturut-turut, dari 2006 hingga 2007. Namun IOD positif di tahun 2006 yang dampaknya sangat terasa karena kuatnya sinyal anomaly iklim ini. Sementara, IOD positif di tahun 2007 yang berbarengan dengan La Niña di Samudera Pasifik, hanya memberikan dampak negative berupa defisit curah hujan pada periode Juli – Agustus 2007. Setelah periode itu, dampak La Niña berupa curah hujan yang berlebihan mendominasi sebagian besar wilayah Indonesia.

Seperti yang sudah “biasa” terjadi, kedatangan musim kemarau akan diikuti oleh “munculnya” kabut asap akibat kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Perlu diingat bahwa anomaly iklim, baik El Niño maupun IOD positif, bukanlah “pemantik” kebakaran hutan. Anomali ini hanya menyebabkan kondisi lingkungan yang kondusif untuk meluasnya kebakaran hutan yang sudah terjadi. Apabila kabut asap muncul pada periode Juli – Oktober, tak terelakkan kabut ini akan kita”ekspor” ke negara-negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Hal ini terjadi karena pengaruh angin muson timur yang sedang terjadi di kawasan ini.

Kekeringan juga mengganggu ketersedian air, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk industri; pertanian dan energi. Sudah menjadi sesuatu yang lazim kita dengar ketika musim kemarau banyak warga yang sangat sulit mendapatkan air, terutama di daerah rawan kekeringan. Sering juga kita dengar jika industri pertanian kita mengalami kegagalan akibat kelangkaan air.

Kejadian ini berulang-ulang terus setiap tahun dengan intensitas yang bervariasi oleh pengaruh anomaly iklim. Bahkan, akhir-akhir ini kita seolah menjadi terbiasa dengan kondisi ini dan menganggapnya sebagai sesuatu yang memang seharusnya terjadi. Pandangan seperti ini harus kita tinggalkan, dan kita harus mau belajar dari pengalaman. Seandainya kita mau belajar dengan sungguh-sungguh, kita pasti mampu membuat perencanaan, pengelolaan dan pengendalian dampak kekeringan dan banjir ini dengan baik. Menjadi tugas instansi-instansi terkait untuk memberikan informasi, penyuluhan dan pembinaan secara proaktif kepada masyarakat agar dapat mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.

Sebagai anggota masyarakat, sudah seharusnya pula kita berpartisipasi aktif mengelola lingkungan kita, terutama sumber daya air, agar krisis surplus hujan (banjir) dan defisit hujan (kekeringan) tidak selalu menghantui kita. Mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk jauh lebih baik dari pada penyesalan yang akan datang nanti. Jangan sampai kita mengalami kondisi HABIS BANJIR, TERBITLAH ASAP.

Pinggir Teluk Tokyo, 7 Juli 2008
-Iskhaq Iskandar

Comments

Popular posts from this blog

{News} 080702 Muncul Gejala Awal Terjadi Dipole Mode

{News} 080804 Haze returns to region as Sumatra's illegal fires rage